Dahulu, sebelum ada vaksinasi, cacar adalah salah satu penyakit yang
tersebar di mana-mana, dan atas kehendak Allah Yang Maha Hidup dan Maha
Mengurus segala sesuatu, sering kali (penyakit cacar itu) mengakibatkan
kematian di kalangan masyarakat.
Syahdan, di antara mereka ada yang terjangkit bencana ini; seorang lelaki berumur 6 tahun d
ari sebuah dusun di utara kota Buraidah di wilayah Al-Qashim.
Peristiwa ini terjadi di abad 14 H. Akibatnya, ia mengalami kebutaan
total dan berwajah bopeng.
Anak ini tinggal di tengah saudara-saudaranya yang bekerja sebagai
petani di sawah. Dia sering berlari-lari di belakang mereka, hendak
mengejar mereka saat berjalan bersama. Akan tetapi, tentu saja hal ini
sering kali menyebabkannya tersandung dan terjerembab di mana-mana, lalu
terluka. Namun, ia segera bangkit mengejar arah datangnya suara mereka,
lalu ia menabrak pohon di mana-mana, sementara saudara-saudaranya hanya
menertawainya ketika ia jatuh, bahkan (mereka) mengejeknya, “Buta …!
Buta …!”
Mereka tidak peduli dan tidak menanyakan apabila dia tidak ada dan
(mereka) bersikap acuh kalau dia ada di tengah mereka. Bahkan, di kala
orang tuanya tidak ada dirumah, sering kali ia menjadi bulan-bulanan
saudara-saudaranya, yaitu ketika dia disuruh berjalan lalu terantuk dan
terjatuh, maka ia menjadi bahan tertawaan. Meskipun demikian, dia
termasuk anak yang lincah dan gerakannya ringan. Kemauannya keras dan
mempunyai ketabahan, dan Allah telah mengaruniakan kepadanya kecerdasan
dan kemauan yang keras. Dia selalu berupaya melakukan apa saja yang dia
mau. Dia ingin mengerjakan lebih banyak daripada yang dilakukan orang
normal.
Ayahnya adalah orang yang miskin. Dia memandang anaknya yang buta ini
hanya menjadi beban saja, karena dia tidak mendapatkan manfaat dan
keuntungan darinya sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.
Suatu hari, salah seorang temannya datang ke rumah. Sudah beberapa
tahun mereka tidak jumpa. Dia lalu mengadukan kepada temannya tersebut
perihal anaknya yang buta bahwa anak itu tidak berguna, bahkan mereka
sekeluarga selalu sibuk mengurus dan melayaninya, sehingga menghambat
sebagian pekerjaan mereka. Tamu tersebut menyarankan agar anak itu
dikirim ke Riyadh agar mendapat jaminan makanan dari jamuan yang selalu
diadakan oleh Ibnu Sa’ud (Setelah keamanan dalam negeri di seluruh
Jazirah Arab terkendali di tangan Raja Abdul ‘Aziz rahimahullah, dia
mengadakan jamuan khusus untuk memberi makan kaum fakir miskin dan orang
orang terlantar. Pada masa itu, jamuan tersebut sangat terkenal),
sehingga (ia) akan selalu bertemu dengan orang orang yang mengasihinya
setiap saat.
Ide tersebut diterima dengan baik oleh ayahnya. Ketika ada seorang
tukang unta tampak sedang membuat kayu ke atas punggung untanya yang
biasanya menjual barang dagangan di Riyadh, ayahnya menghampiri tukang
unta dan berkata, “Aku hendak menitipkan anakku ini padamu. Bawalah dia
pergi ke Riyadh dan saya beri kamu dua riyal, dengan syarat: kamu taruh
dia di masjid, dan kamu tunjukkan di mana letak jamuan makan dan sumur
masjid agar dia bisa minum dan berwudhu, dan serahkan dia kepada orang
yang mau berbuat kebajikan kepadanya.”
Berikut ini penuturan kisah sang anak setelah (ia) dewasa,
Aku dipanggil ayahku -rahimahullah-. Pada waktu iu, umurku baru
mendekati 13 tahun. Beliau berkata, “Anakku, di Riyadh itu ada
halaqah-halaqah ilmu, ada jamuan makan yang akan memberimu makan malam
setiap hari, dan lain sebagainya. Kamu akan betah disana, insya Allah.
Kamu akan ayah titipkan pada orang ini. Dia akan memberitahu kamu apa
saja yang kamu inginkan ….”
Tentu saja, aku menangis keras-keras dan mengatakan, “Benarkah orang
sepertiku tidak memerlukan lagi keluarga? Bagaimana mungkin aku berpisah
dengan ibuku, saudara-saudara, dan orang orang yang aku sayangi?
Bagaimana aku akan mengurus diriku di negeri yang sama sekali asing
bagiku, sedangkan di tengah keluargaku saja aku mengalami kesulitan? Aku
tidak mau!”
Aku dibentak oleh ayahku. Beliau berkata kasar kepadaku.
Selanjutanya, beliau memberiku pakaian-pakaianku seraya berkata,
“Tawakal kepada Allah dan pergilah …. Kalau tidak, kamu akan aku begini
dan begini ….”
Suara tangisku makin keras, sementara saudara-saudaraku hanya diam
saja di sekelilingku. Selanjutnya, aku dibimbing oleh si tukang unta
sambil menjanjikan kepadaku hal-hal yang baik baik dan meyakinkan aku
bahwa aku akan hidup enak di sana.
Aku pun berjalan sambil tetap menangis. Tukang unta itu menyuruh aku
berpegangan pada ujung kayu di bagian kelakang unta. Dia berjalan di
depan unta, sedangkan aku di belakangnya, sementara suara tangisku masih
tetap meninggi. Aku menyesali perpisahanku dengan keluargaku.
Setelah lewat sembilan hari perjalanan, tibalah kami di tengah kota
Riyadh. Tukang unta itu benar benar menaruh aku di masjid dan
menunjukkan aku letak sumur dan jamuan makan. Akan tetapi aku masih
tetap tidak menyukai semuanya dan masih merasa sedih. Aku menangis dari
waktu ke waktu. Dalam hati, aku berkata, “Bagaimana mungkin aku hidup di
suatu negeri yang aku tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenal siapa
pun? Aku berangan-angan, andaikan aku bisa melihat, pastilah aku sudah
berlari entah kemana … ke padang pasir barangkali. Akan tetapi, atas
rahmat Allah, ada beberapa orang yang menaruh perhatian kepadaku di
masjid itu. Mereka menaruh belas kasihan kepadaku, lalu mereka membawaku
kepada Syekh Abdurrahman Al-Qasim rahmahullah dan mereka katakan, “Ini
orang asing, hidup sebatang kara.”
Syekh menghampiri aku, lalu menanyai siapa namaku dan nama julukanku,
dan dari negeri mana. Kemudian, beliau menyuruh aku duduk di dekatnya,
sementara aku menyeka air mataku. Beliau berkata, “Anakku, bagaimana
ceritamu?” Kemudian, aku pun menceritakan kisahku kepada beliau.
“Kamu akan baik baik saja, insya Allah. Semoga Allah memberimu
manfaat dan membuat kamu bermanfaat. Kamu adalah anak kami dan kami
adalah keluargamu. Kamu akan melihat nanti hal-hal yang menggembirakanmu
di sisi kami. Kamu akan kami gabungkan dengan para pelajar yang sedang
menuntut ilmu dan akan kami beri tempat tinggal dan makanan. Di sana ada
saudara-saudara di jalan Allah yang akan selalu memperhatikan dirimu.”
Aku menjawab, “Semoga Allah memberi Tuan balasan yang terbaik, tetapi
aku tidak menghendaki semua itu. Aku ingin Tuan berbaik hati kepadaku,
kembalikan aku kepada keluargaku bersama salah satu kafilah yang menuju
Al-Qashim.”
Syekh berkata, “Anakku, coba dulu kamu tinggal bersama kami,
barangkali kamu akan merasa nyaman. Kalau tidak, kami akan mengirim kamu
kembali kepada keluargamu, insya Allah.”
Selanjutnya, Syekh memanggil seseorang lalu berkata, “Gabungkan anak
ini dengan Fulan dan Fulan, dan katakan kepada mereka, perlakukan dia
dengan baik.”
Orang itu membimbing dan membawaku menemui dua orang teman yang baik
hati. Keduanya menyambut kedatanganku dengan baik dan aku pun duduk di
sisi mereka berdua, lalu aku ceritakan kepada mereka berdua keadaanku
dan mengatakan bahwa aku tidak betah tinggal di situ karena harus
berpisah dari keluargaku. Tak ada yang dilakukan kedua temanku itu
selain mengatakan kepadaku perkataan yang menghiburku. Keduanya
menjanjikan kepadaku yang baik-baik dan bahwa kami akan sama sama
mencari ilmu, sehingga aku sedikit merasa tenteram dan senang kepada
mereka. Keduanya selalu bersikap baik padaku. Semoga Allah memberi
mereka dariku balasan yang terbaik. Akan tetapi, aku sendiri belum juga
terlepas dari kesedihan dan keenggananku tinggal di sana. Aku masih
tetap menangis dari waktu ke waktu atas perpisahanku dengan keluargaku.
Kedua temanku itu tinggal di sebuah kamar dekat masjid. Aku tinggal
bersama mereka. Keseharianku selalu bersama mereka. Pagi-pagi benar,
kami pergi shalat subuh, lalu duduk di masjid mengikuti pengajian
Alquran sampai menjelang siang. Syekh menyuruh kami menghapal Alquran.
Sesudah itu, kami kembali ke kamar, istirahat beberapa saat, makan ala
kadarnya, kemudian kembali lagi ke pengajian hingga tiba waktu zuhur.
Barulah setelah itu, kami istirahat, yakni tidur siang (qailulah), dan
sesudah shalat Ashar kami kembali lagi mengikuti pengajian.
Demikian yang kami lakukan setiap hari hingga akhirnya mulailah aku
merasa betah sedikit demi sedikit, makin membaik dari hari ke hari,
bahkan akhirnya Allah melapangkan dadaku untuk menghapal Al Quran,
terutama setelah Syekh–rahimahullah–memberi dorongan dan perhatian
khusus kepadaku. Aku pun melihat diriku mengalami kemajuan dan menghapal
hari demi hari. Sementara itu, Syekh selalu mempertajam minat para
santrinya. Pernah suatu kali, beliau berkata, “Kenapa kalian tidak
meniru si Hamud itu? Lihatlah bagaimana kesungguhan dan ketekunannya,
padahal ia orang buta!”
Dengan kata-kata itu, aku semakin bersemangat, karena timbul
persaingan antara aku dan teman temanku dalam kebaikan. Oleh karena itu,
kurang dari satu setengah bulan, Allah ta’ala telah mengaruniai aku
ketenteraman dan ketenangan hati, sehingga dapatlah aku menikmati hidup
baru ini.
Syahdan, setelah tujuh bulan lamanya aku tinggal di sana, aku katakan
dalam diriku,“Subhanallah, betapa banyak kebaikan yang terdapat dalam
hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sementara diri kita
melalaikannya! Kenapa aku harus sedih dan menangisi kehidupan yang serba
kekurangan di tengah keluargaku, yang ada hanya kebodohan, kemiskinan,
kepayahan ketidakpedulian, dan penghinaan, sedangkan aku merasa menjadi
beban mereka?”
Demikianlah kehidupan yang aku jalani di Riyadh setiap harinya, sehingga
kurang dari sepuluh bulan aku sudah dapat menghafal Alquran sepenuhnya,
alhamdulillah. Kemudian, aku ajukan hapalanku itu kehadapan Syekh
sebanyak dua kali. Selanjutnya, Syekh mengajak aku pergi menemui para
guru besar, yaitu Syekh Muhammad bin Ibrahim dan Syekh Abdul Latif bin
Ibrahim. Aku diperkenalkan kepada mereka. Kemudian, guruku itu berkata,
“Kamu akan ikut bergabung dalam halaqah-halaqah ilmu. Adapun murajaah
Alquran, dilakukan sehabis shalat subuh, kamu akan dipandu oleh Fulan.
Sesudah magrib, kamu akan dipandu oleh Fulan.”
Sejak saat itu, mulailah aku menghadiri halaqah-halaqah dari para
guru besar itu, yang bisa menimba ilmu dengan kesungguhan hati. Materi
pelajaran yang diberikan meliputi Akidah, Tafsir, Fikih, Ushul Fikih,
Hadits, Ulumul Hadits, dan Fara’idh. Seluruh materi diberikan secara
teratur, masing-masing untuk materi tertentu.
Sementara itu, aku sendiri, hari demi hari semakin merasa betah, semakin
senang, dan tenteram hidup di lingkungan itu. Aku benar benar merasa
bahaia mendapat kesempatan mencari ilmu. Sementara itu, agaknya orang
tuaku di kampung selalu bertanya kepada orang-orang yang bepergian ke
Riyadh, dan tanpa sepengetahuanku beliau mendapat berita-berita tentang
perkembanganku.
Demikianlah, alhamdulillah, aku berkesempatan untuk terus mencari
ilmu dan menikmati taman-taman ilmu. Setelah tiga tahun, aku meminta
izin kepada guru-guruku untuk menjenguk keluargaku di kampung. Kemudian,
mereka menyuruh orang untuk mengurus perjalananku bersama seorang
tukang unta. Dengan memuji Allah, aku pun berangkat hingga sampailah aku
kepada keluargaku. Tentu saja, mereka sangat gembira dan kegirangan
menyambut kedatanganku, terutama Ibuku–rahimahallah–. Mereka menanyakan
kepadaku tentang keadaanku dan aku katakan, “Aku kira, tidak ada seorang
pun di muka bumi ini yang lebih bahagia selain aku ….”
Ya, kini mereka melihatku dengan senang dan santun. Demikian pula,
aku melihat mereka menghargai dan menghormati aku, bahkan menyuruhku
mengimami shalat mereka. Aku menceritakan kepada mereka
pengalaman-pengalaman yang telah aku alami selama ini. Mereka senang
mendengarnya dan memuji kepada Allah.
Setelah beberapa hari berada di lingkungan keluargaku, aku pun
meminta izin untuk pergi meninggalkan mereka kembali. Mereka bersikeras
memintaku untuk tetap tinggal, tapi aku segera mencium kepada
ayah-bundaku. Aku meminta pengertian dan izin kepada keduanya, dan
alhamdulillah mereka mengizinkan. Akhirnya aku kembali ke Riyadh
meneruskan pelajaranku. Aku makin bersemangat mencari ilmu.
Adapun dari teman-temannya yang seangkatan, ada di antaranya yang
menceritakan, “Dia sangat rajin dan bersemangat dalam mencari ilmu,
sehingga dikagumi guru-gurunya dan teman-teman seangkatannya. Sangat
banyak ilmu yang dia peroleh. Adapun hal yang sangat ia sukai adalah
apabila ada seseorang yang duduk bersamanya dengan membacakan kepadanya
sebuah kitab yang belum pernah ia dengar, atau ada orang yang berdiskusi
dengannya mengenai berbagai masalah ilmu. Dia memiliki daya hapal yang
sangat mengagumkan dan daya tangkap yang luar biasa.
Tatkala umunya mencapai 18 tahun, dia diperintahkan oleh guru
didiknya dihadapan santri santri kecil dan agar menyuruh mereka
menghapalkan beberapa matan kitab.
Ketika Fakultas Syariah Riyadh dibuka, beberapa orang gurunya
menyarankan dia mengikuti kuliah. Dia mengikutinya, dan dengan demikian
dia, termasuk angakatan pertama yang dihasilkan oleh fakultas tersebut
pada tahun 1377 H. Kemudian, dia ditunjuk menjadi tenaga pengajar di
Fakultas Syariah di kota itu.
Pada akhir hayatnya, dia pindah mengajar di fakultas yang sama di
Al-Qashim, dan lewat tangannya muncullah sekian banyak mahasiswa yang
kelak menjadi hakim, orator, guru, direktur, dan sebagainya.
Pada tiap musim haji, dia tergabung dalam rombongan pada mufti dan
da’i, di samping kesibukannya sebagai pebisnis tanah dan rumah, sehingga
dia bisa memberi nafkah kepada keluarganya dan saudara saudaranya, dan
dapat pula membantu kerabat-kerabatnya yang lain.
Adapun saudara saudaranya yang dulu sering mengejeknya semasa kecil,
kini mereka mendapatkan kebaikan yang melimpah darinya, karena sebagian
mereka, ada yang kebetulan tidak pandai mencari uang.
Betapa banyak karunia dan nikmat yang terkandung pada hal-hal yang
tidak disukai dari diri kita. Akan tetapi, firman Allah yang Maha Agung
tentu lebih tepat,
“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah:216)
***
Sumber: muslimah.or.id
Disalin dari buku berjudul “Obat Penawar Hati yang Sedih“, karya
Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-’Utsaimin. Penerbit: Darus Sunnah.